HUKUM TAHLILAN



            Sebelum kita mengupas tuntas hukum tahlilan yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Kita harus mengetahui tujuan melaksanakan tahlilan itu apa, kegunaannya itu apa atau dasarnya itu apa.
                Sebenarnya sejarah dari tahlilan itu adalah sebuah tradisi orang-orang kuno yang ketika ada keluarganya meninngal, mereka melakukan sesuatu yang tercela, pada hari pertama sampai hari ketujuh. Seperti minum khamer, judi, main perempuan dll. Baru setelah datangnya Wali Songu, tradisi seperti itu dirubah isinya, dalam artian diganti dengan yang bernuannsa ke-Islamian, yang asalnya mabuk-mabukan, judi dll, kemudian dijadikan perkumpulan dzikir, membaca shalawat, bershadakoh dll, yang pahalanya dihadiyahkan pada orang yang sudah mati.
                Mengenai hukum tahlilan sendiri, ada perbedaan antara NU dan Wahabi.
VERSI NU :
Hukum tahlilan pada hari pertama sampai hari ketujuh itu diperbolehkan dengan memandang, semua yang ada pada tahlilan itu tidak ada yang bertentangan dengan syari’at:

1.     Bershadakoh atau memberi makan ketika hari pertama sampai hari ketujuh, itu sudah ada mulai dari generasi shabat, karena orang yang meninggal itu selama tujuh hari diuji dalam kuburnya, maka dari itu dianjurkan bershadakoh.
(
“Diriwayatkan dari sahabat Ahnaf bin Qais beliyau berkata: “Ketika Sayyidina Umar ditikam, Ahnaf memerintah agar Shuhaib memimpin shalat jenazah sebanyak tiga kali, dan memritah menyuguhkan makanan pada orang yang hadir”.
“Dan diriwayatkan dari imam Thowus, belau berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang meninggal itu diuji dalam kuburnya selama tujuh hari, dan di anjurkan bershodaqoh pada waktu itu”.

2.     Ijtima’ (perkumpulan)yang didalamnya membaca al-Qura’n dan lain sebagainya, itu di anjuran oleh Nabi Muhammad Saw. dalam hadits disebutkan:
“Tidak duduk sekelompok orang dengan berdzikir  kepada Allah Swt. Kecuali mereka di kelilingi para malikat, dilimpahi rahmat, diberi ketenangan, dan disebut-sebut oleh Allah di hadapan makhluk sekeliling-Nya.”
(HR. Imam Muslim)
3.     Hadiah pahala yang dihadiyahkan pada orang yang sudah meninngal, itu juga ada dasarnya. Dalam hadits disebutkan:
“Bacakanlah yasin pada orang-orang wafat kalian semua”
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
 VERSI WAHABI:
            berbeda dengan NU yaitu Wahabi, yang mengatakan bahwa hukum dari tahlilan itu haram dengan dua alassan :
1.        Tasyabbuh  (serupa) dengan orang jahiliyah, karena tradisi ini adalah tradisinya orang jahiliyah,  karena orang jahiliyah ketika keluarganya ada yang meniggal, mereka mengadakan acara sampai hari ketujuh. Mereka berlandasan hadits.
“Rasulullah Saw. bersabda: “ barang siapa yang serupa dengan qaum, maka termasuk golongannya”
2.        Nabi tidak pernah memeritah untuk mentahlili orang yang meninggal, apa lagi memberi makan. Dasar mereka tidak ada lain.
“Setiap bid’ah itu sesat, setiap yang sesat masuk Neraka”
(HR.Imam Muslim)
SANGGAHAN:
          Sebenarnya orang-orang Wahabi itu terlalu tergesah-gesah dalam menuduh dan memahami  hadits di atas. Yang pertama mengenai hadits “ barang siapa yang serupa dengan qaum, maka termasuk golongannya”ketika kita kembalikan kepada pakarnya, tidak semutlak itu. Maksudnya, tidak semua perkara ketika serupa dianggap sama. Buktinya Rasulullah Saw. syari’atnya hasil dari peninggalan orang jahiliyah,  contoh; puasa asyura, aqiqah,dll. Dan juga kita ini tidak sama dengan mereka, mereka selama tujuh hari melakukan perjudian, mabuk-mabukan, sedangkan kita selama tujuh hari melakukan doa bersama, shadakoh dan lain sebagainya yang tidak ada yang bertentangan dengan syari’at. Dan yang kedua hadits “Setiap bid’ah itu sesat, setiap yang sesat masuk Neraka”tidak semutlak itu, masih dibatasi denganhaditsSeseatu yang dilihat baik oleh orang mu’min,maka baik pula menurut Allah”
Mengenai pendapat para ulama’ dalam kitab I’anatut Thalibin Dll.- Yang mengatakan, ini bid’ah madzmumah (perkara baru yang tercela), bahkan ada yang mengatakan bid’ah muharramah (perkara baru yang haram)-itu semua di arahkan ketika makanannya diambilkan dari tirkah- (harta peninngalan)- mayyit yang ada mahjur alaih (belum baligh) atau belum dibagi. Tapi ketika tidak diambilkan dari tirkah, makah hukumnya diperbolehkan, bahkan sunnah ketika daf’u al-sinati juhhal(menepis anggapan orang awam).
Jadi, inti hukum tahlilan yang diadakan pada hari pertama sampai hari ketujuh itu hukumnya legal.


Referensi:
Ø  Inratu ad-Duj
Ø  Maus’ah yushfiah
Ø  Al-ajwabah al-Wliah fi Aqdah al-firqah an-Njiah
Buku Panduan Islam Dalam Logika ‘’ALFASA”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akidah Yang Mulai Rapuh

SEPUTAR AFDHOLIYYAH POSISI KEPALA MAYIT SAAT DIMANDIKAN

Hakikat Kalamullah"Al-Qur'an