Akidah Yang Mulai Rapuh
Mungkin kata itu yang pas untuk kita, di saat apa yang wajib kita pahami
ternyata terbuang sia-sia. Entah karna apa? Urgensi sebuah pemahaman yang
menjadi benteng, seharusnya tetap kokoh, namun sekarang mulai rapuh ditelan masa. banyaknya sekte-sekte
yang tidak setuju bahkan mengatakan kita sesat menuntut kita untuk bisa
bertahan dan bisa meluruskan pemahaman mereka.
Sudah
maklum mungkin bahwa “ wujud dan kalam” adalah dua shifat tuhan yang
wajib kita ketahui, namun!, sudah maklumkah ketika anda di tanya apa bukti dan
maksud wujud itu? Kemudian
seperti apakah wujud Allah itu?
Bagaimana dengan Al-qur’an apakah
itu kalam Allah Swt? Jika iya, bukankan kalam Allah itu tanpa suara
dan huruf?.
Kita yakin dan mantap bahwa Allah Swt. Itu ada karena pengaruh kekuasaanya,
dan bukti kebijaksanaannya yang kita saksikan, sekalipun kita tidak dapat
melihatnya dengan mata kepala dan tidak mendapati hakikatnya dengan fikiran
maupun angan-angan kita, sebab di dalam benda buatan makhluk tersebut terdapat dilalah
atau petunjuk terhadap pembuatnya dan dalam keteraturannya terdapat tanda
pembuat yang sangat bijak. Demikian juga dengan seorang yang melihat sebuah
tenda yang berdiri di tanah lapang, maka iya mengerti bahwa tenda itu ada yang
mendirikannya, sebagaimana kita melihat makhluk-makhluk di bumi dan langit akan
mantap dan yakin bahwa semuanya ada yang membuatnya yang kemampuan dan sifat-sifatnya
sangat luar biasa.
Al-imam Abu Hanifah di saat berdialog dengan orang Atheisme (golongan yang
tidak percaya adanya tuhan) mengatakan: “apakah masuk akal, sebuah kapal yang
meluncur di permukaan laut yang dalam, di terpa gelombang dahsyat dan angin
kencang sedangkan kapal tetap berjalan lurus tanpa nahkoda?” orang Atheis itu
menjawab. “ Tidak, tidak dapat diterima akal ”.
Imam Abu Hanifah berkata “ apabila hal itu tidak bisa diterima akal,
maka bagaimana mungkin alam raya yang membentang atas dan bawah beserta kondisi
yang beraneka ragam ini tanpa ada yang membuat? ”.[1] Allah
Swt. Berfirman :
أَفَلا يَنظُرُونَ إِلَى
الإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ
كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
“ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Unta bagaimana iya di ciptakan? Dan Langit
bagaimana iya di tinggikan dan Gunung-Gunung bagaimana iya di tegak-kan? Dan Bumi
bagaimana iya di hamparkan? ”
{Qs.Al-Ghosyiah:17-20}
Dalam mengartikan wujud itu sendiri banyak
sekali perbedaan, di antaranya ada aliran Musyabbihah (Antropomorfiems) yang
memahami Allah Swt. bertangan, Bermata, Bersinggasana, Mendengar Dan Sebagainya.
Secara Harfiah. Ada lagi aliran Mujassimah (Korpolarisme) sebagaimana
aliran tadi mereka mempunyai asumsi bahwa Allah swt berjisim sebagaimana
manusia. Ada pula aliran Jabariyah
(fatalisme) yang mempunyai argumentasi bahwa Manusia tidak mempunya kebebasan
sama sekali, dengan kata lain semua perbuatan Manusia di nisbatkan kepada Allah
Swt. Sebaliknya ada juga aliran Qodariyah.
Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah
berkeyakinan bahwa Allah Swt. tidak berjisim dan juga tidak bertempat
berdasarkan dua dalil, yaitu dalil aqli
dan naqli. Allah Swt. berfirman :
ليس
كمثله شيء وهو السميع البصير
“Tidak ada satupun yang
serupa dengan dia, dan dialah yang maha mendengar dan melihat”.
(Qs. As-syura 11)
Ayat ini
adalah ayat yang paling jelas di dalam al-qur’an bahwa Allah Swt. Sama sekali
tidah menyerupai makhluknya, bahwa Allah tidak berupa materi (berjisim),
tidak berupa substansi (jauhar[2]), bukan aksidansi dan juga tidak bertempat
sebagaimana makhluknya. Al-Imam Baihaqi dalam
kitabnya mengatakan :
“Sesungguhnya Allah tidak ada tempat baginya, dan tidak tersusun”
Sayyidina Ali
Ra. juga mengatakan :
4وقد
قال امير المؤمنين على رضي الله عنه ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا
لذاته وقال ايضا قد كان ولا مكان وهو الآن على ما كان
“Sesungguhnya Allah swt meciptakan
Arays untuk menam,pak-kan kekuasaannya bukan untuk menjadikan tempat bagi
dzatnya, Allah sudah ada dan belum ada
tempat dan dia sekarang tetap seperti semula(tetap ada tanpa tempat)”
Sedangkan dalil Rasio (aqli)
bahwa Allah Swt. tidak butuh pada tempat adalah jika seandainya Allah Swt.
bertempat maka niscaya akan ada asumsi bahwa Allah di batasi dengan ruang dan
arah tertentu sesuai tempat itu, jika demikian maka bisa saja Allah lebih besar
atau lebih kecil dari tempat itu yang tentunya hal ini akan menjerumuiskan kita
pada lembah kekufuran karna menyamakan Allah dengan makhluk. Dan jika tuhan
sejak semula sudah tidak mempunyai tempat maka tentunya hingga saat ini pula Allah
Swt juga tidak bertempat.
Sifat adalah sesuatu yang
bukan berupa dzat baik wujud atau pun tidak. Kemudian dalam mengartikan Wujud itu
sendiri para ulama’ masih ada silang
pendapat.
1.
Imam Abil-Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa
wujud adalah Ainul Maujud (dzat itu sendiri) sehingga menurut pendapat
ini Wujud tidak di sebut sebagai sifat.
2.
Imam Ar-Rozi mengatakan wujud adalah
adalah Amrun I’tibari yaitu sesuatu yang tidak ada (Tsubut) namun bisa
di rasakan.
3.
sedangkan menurut Imam Haromain Dan Imam Qodhi
Abi Bakar Al Baqillani wujud adalah Ha-Lul Maujud yaitu sesuatu yang ada
(tsubut) namun tidak sampai pada tingkatan maujud sehiingga bisa
di lihat5 dan tidak turun pada tingkatan
Ma’dum sehingga tidak ada.
Akan tetapi pendapat Imam Abil-Hasan
Al-Asy’ari yang mengatakan wujud adalah ainul
maujud (dzat itu sendiri) sehingga bukanlah sifat, oleh sebagian
ulama’ di arahkan pada majaz.
maksudnya kata wujud tersebut tetap di katakan sifat di pandang dari
sisi lafadnya. sebagaimana ungkapan “Allahu
Alimun” maka juga bisa “Allahu Maujudun” ada juga ulama’ yang menta’wilnya,
maksudnya wujud fersi asy’ari bukanlah sebuah tambahan atas dzat yang
ada sebagaimana sifat maa’ni,dan ma’nawiyah bahkan Wujud
adalah Amru I’tibari. Sehingga penta’wilan ini sesuai dengan
fersi Ar-Razi. Namun cukup bagi orang mukallaf mengetahui wujudnya Allah
Swt itu wajib ada, tidaklah wajib baginya mengetahui bahwa wujudnya Allah itu Ainu
Dzat atau Ghoiru Dzat karena hal itu termasuk permasalahan yang
permik dalam ilmu kalam.
.
Teori
ini berpijakan pada konsep Ulama’ Mutakallimin bahwa :
Al-Asyya ’(sesuatu)Sesuatu ada empat bagian
:
1.
Maujud Yaitu perkara yang ada serta bisa di lihat,
ini adalah paling tingginya tingkatan.
2.
Ma’dum yaitu perkara yang tidak ada ini adalah paling rendahnya
tingkatan.
3.
Hal adalah perkara yang ada namun tidak bisa di
lihat, ini lebih rendah tingkatannya dari maujud dan lebih tinggi dari
amrun i’tibari dan ma’dum.
4.
Amrun i’tibari di bagi menjadi dua
Ø Ikhtiro’i yaitu sesuatu yang tidak ada (la
tsubuta) namun di rasa ada. Sperti sifat kikir pada
orang yang sangat muliya.
Ø Intiza’i yaitu sesuatu yang nyata ( tsubut) namun hanya di rasa dalam hati
saja[4]
seperti sifat muliya pada orang yang mulya.
Catatan : Hal dan Amrun I’tibari perbedaannya adalah Hal dalam kenyataanya
ada (tsubut). sedangkan Amrun I’tibari hanya di hati saja (Fiddzihni)[5].
Ketetapan Hal inipun ketika mengikuti ulama’ yang mengatakan bahwa Hal
ini ada, sedangkan menurut ulama’ yang mengatakan Hal tidak ada, maka Al-Asyya’
hanya ada tiga, dan memang inilah yang paling benar.[6]
Sifat nafsiyah adalah sifat dimana akal tidak bisa menerima adanya dzat, kecuali dengan adanya sifat
tersebut.
Sifat salbiyah adalah sifat yang mentiadakan sesuatu yang tidak
pantas bagi Allah Swt.atau mentiadakan kebalikannya.
Sifat maa’ni adalah sifat yang melekat pada yang di sifati (mausuf)
yang mewajibkan hukum seperti kaunuhu qodiron (Allah Swt itu dzat yang
kuasa) yang mewajibkan Qudrat (kuasa).Di dalam kenyataannya sifat maa’ni
dan ma’nawiyah itu Talazum (otomatis) hanya saja maa’ni adalah illatnya
(sebab) sedang ma’nawiyah adalah ma’lul (akibat dari sebab itu)[7].
Luar biasa
BalasHapus